Di tengah ramainya daftar orang terkaya Forbes yang mengaku dropout dari bangku kuliah, barangkali membuat Anda galau untuk menghentikan pendidikan Anda. Jangan dulu. Mungkin kita bisa belajar dari sosok seorang Chairul Tanjung. Meskipun dunianya kini jauh berbeda dari bangku perkuliahannya, nyatanya beliau tetap menamatkannya. Beliau bahkan merupakan mahasiswa teladan tingkat nasional 1984-1985.
Chairul Tanjung terlahir dari keluarga yang awalnya berada. Ia adalah anak seorang wartawan pemilik surat kabar dengan oplah yang lumayan. Akan tetapi, saat Chairul Tanjung SMP, usaha ayahnya terpaksa harus gulung tikar karena dituding sebagai antek Orde Lama. Kala itu, terjadi pergantian ke era Orde Baru. Di era Soeharto ini, kebebasan media memang dipasung. Dan sang ayah, A.G. Tanjung, adalah ketua Partai Nasional Indonesia (PNI) Ranting Sawah Besar.
Keadaan ini memaksa mereka untuk menjual semua aset, termasuk rumah dan pindah ke sebuah losmen dengan kamar yang sempit. Di sinipun, mereka tidak kuat terus-menerus membayar biaya sewa sehingga mereka kemudian memutuskan pindah ke daerah Batutulis, salah satu kantong kemiskinan di Jakarta. Rumah tersebut adalah rumah nenek Chairul, dari ibundanya, Halimah. Orang tuanya bahkan tidak sanggup membayar uang kuliah Chairul yang waktu itu hanya sebesar Rp 75.000.
"Tahun 1981, saya diterima kuliah di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia (UI)," ungkapnya dalam buku biografi 'Chairul Tanjung, Si Anak Singkong' yang ditulis oleh Tjahja Gunawan Adiredja. "Diam-diam, ibu saya menggadaikan kain halusnya ke pegadaian untuk membayar uang kuliah saya."
Mendengar kabar ini, sejak saat itulah beliau bertekad untuk tidak meminta uang lagi kepada orang tuanya. Maka sembari kuliah, beliau memulai bisnis kecil-kecilan. Mulai dari fotokopi, berjualan buku kuliah stensilan, usaha stiker, kaos, dan aneka barang lain di kampus. Hasilnya pelan-pelan dikumpulkan untuk membuka kios peralatan kedokteran dan laboratorium kedokteran gigi meski kemudian bisnisnya bangkrut. "Yang nongkrong lebih banyak ketimbang yang beli," katanya.
Sekitar 2 tahun kemudian beliau kembali berbisnis. Kali ini, beliau menggandeng dua orang rekannya untuk mendirikan PT Pariarti Shindutama, sebuah perusahaan yang memproduksi sepatu anak-anak untuk diekspor. Modalnya diperoleh dari Bank Exim sebesar Rp 150 juta. "Dengan bekal kredit tersebut saya belikan 20 mesin jahit merek Butterfly," katanya. Di awal 3 bulan, bisnisnya terlunta-lunta tanpa pesanan. Di saat terancam bangkrut, datanglah pesanan 160.000 pasang sepatu dari pengusaha Italia. Kemudian bisnisnya terus berkembang. Namun, karena adanya perbedaan visi dengan kedua rekannya, Chairul Tanjung memilih pisah.
Inilah cikal bakal Chairul Tanjung mendirikan Para Group, sebuah kerajaan bisnis yang bergerak pada tiga bisnis inti: jasa keuangan yakni Bank Mega, media seperti Detik, TransTV, Trans7, dan properti mulai dari Bandung Supermall, Carrefour, hingga Trans Studio. Lompatan besarnya bermula ketika beliau memutuskan untuk mengambil alih kepemilikan Bank Mega pada 1996. Beliau mampu mentransformasi bank kecil yang sedang sakit-sakitan itu menjadi bank besar yang disegani.
Pilihannya untuk terjun ke dunia entrepreneur mungkin memang jauh dari kedokteran gigi. Namun keputusannya ini justru menempatkannya di jajaran orang terkaya di Indonesia. Pada tahun 2010, Forbes menilai total kekayaan bersihnya sebesar $1 miliar. Chairul Tanjung kemudian merubah nama Para Group menjadi CT Corp pada tanggal 1 Desember 2011.
"Kini waktu saya lebih dari 50% saya curahkan untuk kegiatan sosial kemasyarakatan," ungkapnya. Beliau kini getol menjalani berbagai kegiatan sosial. Mulai dari PMI, Komite Kemanusiaan Indonesia, anggota Majelis Wali Amanat Universitas Indonesia. Itulah sekilas kisah hidup Chairul Tanjung, seorang entrepreneur yang tidak mau kalah dengan nasib. Jutaan lapangan pekerjaan merupakan salah satu kontribusinya bagi Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar