Pelecehan seksual sepertinya semakin sulit untuk dikendalikan. Setiap hari ada saja berita yang membuat air mata menetes dan dahi berkerut. Sementara bicara tentang seks, meski mendidik tetap dianggap tabu. Untuk mengakui kita menghadapi masalah seks yang memprihatinkan pun sulit. Bagaimana nasib masa depan?
Tidak bisa dimungkiri bahwa kata "seks" saja sudah bisa membawa pikiran dan khayalan seseorang ke mana-mana. Cenderung ke arah porno dan hanyut larut dalam nafsu kebinatangannya. Maklum saja karena seks masih dijadikan sebagai obyek yang tabu, kotor, porno, amoral, asusila, dan segala perbuatan maksiat yang menjerumuskan. Padahal kita semua menyadari bahwa seks itu diberikan oleh Sang Pencipta sebagai anugerah yang seharusnya bisa dipandang secara positif bila seka itu dijadikan subjek.
Seks sendiri merupakan ilmu pengetahuan yang sangat mendidik. Mempelajari organ seks, perilaku seks, dan seks semua makhluk hidup mampu membuat manusia tercengang dan terpana. Betapa tidak? Sehebat-hebatnya manusia, hingga saat ini belum ada satu manusia pun yang membuat sperma dan sel telur. Bahkan tak mampu juga menduplikasikannya. Lantas, mengapa sulit sekali bagi manusia untuk melihatnya sebagai kebesaran Ilahi?
Menjadikan seks sebagai objek pemikiran negatif sudah membuktikan bahwa kita belum mampu menghormati dan menghargai apa yang sudah diberikan oleh-Nya. Kesalahan ini tidak juga mau diakui, sehingga tidak heran bila pemikiran kotor dan negatif terus berkembang. Masalah yang berhubungan dengan seks semakin sulit untuk diatasi dan dibenahi.
Ketabuan atas seks itu sendiri berawal dari kesakralan seks. Dibutuhkan kematangan, kedewasaan, jiwa besar, dan nalar yang tinggi untuk mampu mempelajari seks tanpa berpikir negatif, sehingga tabu dipelajari bagi yang tak mampu. Kesulitan inilah yang membuat pengetahuan seks menjadi tertutup karena memang ditutupi. Seiring perjalanan waktu, justru tabulah yang kemudian menjadi subjek dan seks adalah objeknya. Apa mau dikata, mungkin orang dulu sudah berpikir jauh ke depan. Seleksi alam berdasarkan kemampuan manusia di dalam berpikir jernih semakin menurun, sehingga tidak pantas mempelajari seks. Mereka yang berpikiran kotor tentang seks tidak akan mampu mempelajari dan mengerti tentang seks dengan baik dan benar.
Sebagai salah satu contohnya adalah pemikiran tentang kondom. Kondom dianggap penyebab perilaku seks bebas dan menjerumuskan. Bila kita mau melihatnya lebih jauh lagi, kondom merupakan benda mati. Kondom adalah alat kontrasepsi dan pencega penularan penyakit kelamin yang berbahaya, termasuk HIV dan AIDS. Pengguna kondom sendiri, di Indonesia masih sangat minim, sekitar 5% dari total jumlah penduduk di Indonesia. Sementara pelaku seks bebas jumlahnya apakah sama dengan pengguna kondom atau kurang? Pertumbuhan HIV AIDS di Indonesia pada generasi muda saja sudah mencapai angka 600 persen per tahun, siapakah yang mampu berpikir dan memutuskan untuk melakukan seks bebas? Ingat, kondom tak mampu berpikir, tetapi manusia mampu. Kondom bisa menjadi apa saja, tergantung kepada niat dan tujuan penggunanya sendiri.
Kasus pemerkosaan dan pelecehan seksual juga sering dikaitkan dengan film porno. Film porno diaalahkan dan diruding menjadi penyebab utama dan biang keladinya. Menurut penelitian sebuah media international disebutkan bahwa pecandu film porno di. Indonesia berjumlah 38 persen dari jumlah penduduk pria. Apakah jumlah pemerkosa di Indonesia sama dengan jumlah pecandu film porno tersebut? Jika seseorang mampu mengendalikan dirinya untuk tidak melakukan kejahatan seks, maka kenapa ada yang tidak mampu? Tentunya banyak alasan lain seperti faktor psikologis, kesehatan jiwa, pendidikan, ekonomi, lingkungan, dan lain sebagainya yang mempengaruhi. Tidak hanya semerta-merta seseorang bisa melakukan kejahatan seksual hanya karena menonton film porno. Memicu, bisa jadi, tetapi bukan penyebab utama dan biang keladinya.
Pelacuran pun banyak yang ditutup dengan berbagai alasannya. Tidak juga mau mengakui betapa sulitnya menghapus pekerjaan tertua di muka bumi ini. Menutup pelacuran tidak kemudian pasti bisa menghapuskan dunia hitam itu, apakah ada yang berani menjamin? Jika memang dijamin tidak ada, maka untuk apa penjaringan atas Pekerja Seks Komersial di jalanan dan tempat-tempat lain masih terus saja dilakukan? Apakah jumlah yang tertangkap dan tercatat lebih berkurang sejak ditutupnya tempat pelacuran? Para sukarelawan yang biasanya mudah mendata dan memberikan penyuluhan serta memberikan obat-obatan untuk mencegah penyebaran penyakit pun semakin kesulitan.
Anehnya lagi, masalah penanganan soal pelacuran ini hanya difokuskan kepada para PSK-nya saja, para "klien" mereka lebih bebas berkeliaran. Padahal, mereka itulah yang lebih berbahaya karena bisa membawa penyakit ke rumah dan menyebarkannya ke yang lain. Belum lagi perilaku masyarakat yang saat ini melakukan seks bebas di mana-mana, tanpa ikatan, tanpa komitmen, tanpa cinta, hanya untuk seks semata. Plus ditambah dengan seks di dunia maya dan dalam lingkungan kerja, yang tidak juga mau diakui sebagai masalah. Demi pulsa, makan siang, merasakan tidur di hotel, dapat proyek, bergaul dengan kalangan tertentu, ikut trend, gaya hidup dan lain sebagainya, seseorang bisa merendahkan dirinya, tapi tetap tak mau dianggap rendah. Banyak sekali alasan-alasannya.
Menuding, memaki, marah-marah, mengucilkan, dan menghina jauh lebih mudah dibandingkan dengan mau turun langsung menekuni dan berkutat dalam menyelesaikan masalah ini. Untuk mau menyentuh dan merangkul orang-orang yang sudah dianggap hina dan sampah oleh masyarakat saja tak mau. Lebih memilih tetap bersih dan cuci tangan, merendahkan yang lain untuk ditinggikan, itu sudah biasa, kan?! Apa yang diketahui juga hanya sekedar omong-omong bukan hasil dari penelitian langsung, sehingga sebetulnya apa yang diketahui, sih?! Membersihkan rumah yang sudah bersih maka tak ada guna, beranikah membersihkan langsung rumah yang kotor tanpa banyak omong-omong belaka?! Jiwa besar, kesabaran, ketekunan, kedisplinan, dan mau terus berpikir lebih jauh itu mutlak, jauh lebih sulit dari sekedar omong-omong.
Tidak ada seorang pun di muka bumi ini yang tidak pernah bersalah dan siapa yang bisa memastikan lebih berdosa atau tidak?! Derajat manusia di mata Tuhan pun sama, tidak ada yang lebih hina. Manusianya saja yang merasa lebih dari yang lain dan berlaku sudah melebihi Tuhan serta merasa sudah menjadi malaikat tanpa dosa. Mengakui salah saja tidak berani?! Maunya menutupi kesalahan saja terus, sementara kesadaran bahwa kemunafikan itu adalah sebuah perbuatan yang paling dibenci tetap ada. Berpikir positif tentang seks juga tidak memiliki keberanian. Lebih takut dengan cemooh dari masyarakat dan kebanyakan orang dibandingkan menghormati dan menghargai anugerah dari-Nya. Lantas, untuk apa mengaku baik bila menjadi lebih baik dan melakukan yang lebih baik saja tak mau?!
Bicara tentang seks bukan hanya sekedar bicara soal tempat tidur. Membicarakan seks dengan menjadikannya sebagai subjek akan memperluas wawasan dan mendewasakan diri. Untuk membantu langsung menangani masalah kejahatan seksual barangkali sulit, tetapi kita bisa membantu. Sekecil-kecilnya bantuan akan sangat berharga meski hanya dengan mengubah pola pikir dengan menjadikan seks sebagai subjek. Menghormati dan menghargai seks sebagai anugerah dengan tidak merendahkan, melecehkan, ataupun menghinakannya. Tidak perlu menunjuk jari, tapi lakukanlah dari, oleh, dan untuk diri sendiri. Pikirkanlah masa depan.
Oleh : Mariska Lubis
Sumber: kompas.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar