Kualitas kesehatan di tangan kita. (Foto: Corbis)
PEMBANGUNAN kesehatan di Indonesia selama lima tahun terakhir mengalami peningkatan. Kendati begitu, "prestasi" tersebut tak sebanding dengan yang dialami negara tetangga, seperti Malaysia dan Singapura.
Menurut ahli kesehatan masyarakat Fachmi Idris, indikator internasional yang dianggap objektif untuk mengukur hasil pembangunan kesehatan satu negara adalah angka Human Development Index (HDI) dan capaian Millennium Development Goals (MDG's). HDI adalah agregat dari pembangunan ekonomi, pendidikan, dan kesehatan.
Dari delapan sasaran MDG's yang dicanangkan dalam KTT Millennium di New York pada 2000, separuhnya atau empat sasaran berhubungan dengan kesehatan. Tiga sasaran di antaranya berhubungan langsung, yaitu penurunan angka kematian ibu melahirkan, penurunan angka kematian bayi, dan penanggulangan penyakit AIDS, TBC, serta malaria. Sementara satu sasaran lagi tidak berhubungan langsung, yaitu penanganan kualitas lingkungan.
"Untuk angka HDI, Indonesia dalam lima tahun terakhir ini bergerak cukup baik. Terjadi peningkatan. Namun demikian, kenaikan ini belum begitu menggembirakan apabila dilihat dari kategorisasi kelompok-kelompok negara. Sudah 16 tahun, sejak 1995, Indonesia tidak pernah 'naik kelas'. Tetap saja berada pada kelompok negara-negara 'medium'," kata Fachmi, belum lama ini.
Data mencatat, pada 2005 Indonesia berapa di peringkat 110 untuk pencapaian HDI. Pada 2006 hingga 2010,peringkat itu terus mengalami fluktuasi. Pada 2006 angka HDI Indonesia ada di urutan 108 dunia, pada 2007 peringkat 107, dan pada 2008 berada pada peringkat 107. Sementara pada 2009 terjadi penurunan menjadi peringkat 111 dan tahun lalu kembali naik menjadi 108. Walau demikian kondisinya, menurut Fachmi, Indonesia masih tertinggal dari dua negara tetangga, yakni Malaysia dan Singapura.
"Malaysia dan Singapura sudah masuk dalam kelompok negara-negara 'high'. Indonesia kurang-lebih masih sejajar dengan Namibia dan Botswana di regional Afrika Selatan serta sejajar dengan Bolivia dan Paraguay di regional Amerika Selatan. Hal yang sama kurang-lebih juga terjadi pada Thailand dan Filipina," ungkap President of The Confederation of Medical Association in Asia and Oceania (CMAAO) itu.
Sementara untuk MGD's, khususnya angka kematian balita,memperlihatkan penurunan, yaitu dari 1.000 bayi yang lahir hidup,yang meninggal pada 2005 rata-rata 45,7 balita.
Dalam kurun waktu 2006-2009, tren penurunan terus terjadi, masing-masing adalah 43,9 balita, 42,2 balita, 40,5 balita, dan 38,9 balita. Adapun untuk angka kematian ibu di tiap 100.000 kelahiran, turun dari rata-rata 270 kematian ibu pada 2005 (sebagai perbandingan: Malaysia 34 dan Vietnam 66), menjadi 240 kematian ibu pada 2008 (sebagai perbandingan: Malaysia 31 dan Vietnam 56).
"Artinya,walaupun menunjukkan penurunan, namun bila dibandingkan dengan dua negara tersebut di level Asia Tenggara, kita masih jauh tertinggal," imbuh Fachmi.
Praktisi kesehatan yang juga relawan Medical Emergency Rescue Committee (MER-C) Joserizal Jurnalis berpendapat sama dengan Fachmi. Menurut dia, standar kesehatan masyarakat Indonesia memang masih rendah. "Indonesia adalah negara besar dan kaya.
Seharusnya rakyat sejahtera, tapi kenyataannya banyak yang miskin. Untuk membangun Indonesia menjadi negara besar dan lebih sejahtera diperlukan pemimpin-pemimpin yang berani berkorban serta membela rakyatnya," kata Joserizal.
Tak bisa mengandalkan pemerintah sepenuhnya, Joserizal lantas turun tangan secara mandiri bersama sejawatnya di MER-C. Kendati tanggung jawab kesehatan ada di tangan pemerintah, sebagai individu dokter spesialis bedah tulang dan traumatologi lulusan Universitas Indonesia itu tetap bisa berpartisipasi meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat.
"Justru partisipasi masyarakat sangat dibutuhkan karena ultimate kualitas kesehatan adalah peduli kesehatan diri (selfcare). Maka itu, partisipasi aktif masyarakat sangat penting dan harus digalakkan," kata Fachmi.
Pendekatan pembangunan kesehatan dengan target agar masyarakat menjaga kesehatan dirinya (pendekatan community driven), lanjut Fachmi, harus lebih dikedepankan. Konsep pembangunan kesehatan mesti diarahkan kembali pada konsep "peduli kesehatan diri" (pelkesri).
Titik tekan pembangunan kesehatan yang fokus pada upaya pengobatan di sarana yang ada, khususnya di struktur sarana pelayanan kesehatan masyarakat tingkat primer (puskesmas), harus digeser pada upaya memberdayakan masyarakat (community empowering).
Fachmi lantas memberi gambaran betapa konsep pelkesri penting diterapkan. Dia mengambil contoh kasus demam berdarah yang "rutin" terjadi di musim hujan. Menurut dia, ini adalah wujud kegagalan membangun partisipasi masyarakat.
"Harus dicari metode baru untuk memberdayakan masyarakat agar memiliki semangat pelkesri. Semangat yang hanya akan muncul apabila proses pemberdayaannya dilakukan secara sistematis," kata doktor ilmu kesehatan masyarakat itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar