PIKIRKAN sejenak tentang pola kerja Anda sehari-hari. Apakah setiap kali bangun pagi Anda kerap merasa lelah? Terbiasa memeriksa e-mail sebelum tidur? Sering melewatkan sarapan atau makan makanan di pinggir jalan yang tidak bergizi karena waktu makan siang Anda sangat sedikit? Dan yang paling penting, apakah setiap hari Anda merasa sangat sibuk karena pekerjaan terlalu banyak?
Di era modern ini, terutama di kota-kota besar, bisa jadi mayoritas jawaban Anda terhadap pertanyaan di atas adalah: iya. Banyak orang yang memang merasa kewalahan akibat pekerjaan. Volume kerja menumpuk sepertinya tak habis-habis meski Anda sudah bekerja keras.
Nah, kondisi ini diperparah oleh anggapan bahwa semakin seseorang bekerja keras, artinya ia pegawai atau profesional yang hebat di bidangnya, dan atasan pun menilai performanya prima. Kerjakan tugas lebih banyak, lebih cepat, dan lebih segala-galanya merupakan etos kerja yang diagungkan sejak zaman revolusi industri. Dasarnya pada asumsi yang salah bahwa sumber daya kita terbatas.
Sebenarnya anggapan itu tidak selamanya tepat. Kualitas dan produktivitas seorang pekerja tidak bisa dinilai dari lamanya dia bekerja. Bahkan, penelitian menunjukkan bahwa meluangkan waktu untuk bersantai, istirahat, dan berlibur, bisa meningkatkan produktivitas dan kinerja seseorang!
Yang dimaksudkan dengan sumber daya adalah, waktu yang kita punya terbatas jadi harus dimanfaatkan secara sempurna. Lebih banyak yang bisa kita kerjakan berarti kita telah berinvestasi dalam waktu dan dianggap produktif. Tapi waktu kita justru terbatas dan terbagi dengan kehidupan lain di luar pekerjaan.
Sayangnya, lebih banyak waktu libur adalah sebuah ide yang masih dianggap bertentangan dengan etika kerja yang berlaku di sebagian besar perusahaan, di mana downtime biasanya dipandang sebagai waktu yang terbuang. Lebih dari sepertiga dari karyawan yang menjadi responden penelitian ini, misalnya, makan siang di meja kerja mereka secara teratur. Lebih dari 50 persen mengatakan mereka bekerja selama liburan mereka.
Sebenarnya, bila Anda menghabiskan waktu lebih banyak di kantor, lalu pulang terlambat, biasanya waktu tidurnya juga makin larut. Ini akan menguras energi Anda dan membuat Anda makin kelelahan. Dalam sebuah studi terhadap hampir 400 karyawan yang dipublikasikan tahun lalu, para peneliti menemukan bahwa tidur terlalu sedikit -didefinisikan sebagai kurang dari 6 jam setiap malam- adalah salah satu penyebab kerja keteteran.
Sebuah studi Harvard baru-baru ini memperkirakan bahwa akibat karyawan yang kurang tidur di Amerika, perusahaan mengalami kerugian 63 juta dollar Amerika per tahun. Semuanya disebabkan kurang tidur menyebabkan produktivitas menurun.
Peneliti Stanford Cheri D. Mah menemukan bahwa ketika pemain basket laki-laki tidur 10 jam pada malam hari, penampilan mereka meningkat rata-rata 9 persen.
Tidur siang memiliki efek yang sama terhadap kinerja. Sara C. Mednick, seorang peneliti tidur di University of California, Riverside, menemukan bahwa orang yang diberi waktu tidur siang 60-90 menit mendapatkan hasil lebih baik dalam tes memori. Sama baiknya dengan mereka yang tidur malam 8 jam.
Liburan
Pada tahun 2006, kantor akuntan Ernst & Young melakukan studi internal karyawan dan menemukan bahwa untuk setiap 10 jam yang ditambahkan sebagai waktu libur mereka, peringkat kinerja mereka meningkat sebesar 8 persen. Waktu libur yang lebih sering juga menyebabkan lebih sedikit karyawan yang mengundurkan diri dari perusahaan.
Pentingnya restorasi berakar dalam fisiologi kita. Manusia tidak dirancang untuk mengeluarkan energi secara terus-menerus. Sebaliknya, kita ditakdirkan untuk menghabiskan dan memulihkan energi secara stimultan.
Bekerja 90 menit dan kemudian istirahat sejenak juga menjadi resep untuk memaksimalkan produktivitas. Profesor K. Anders Ericsson dan rekan-rekannya di Florida State University telah memelajari kinerja pemain elit, termasuk musisi, atlet, aktor, dan pemain catur. Dalam masing-masing bidang, Dr Ericsson menemukan bahwa pemain terbaik biasanya berlatih tidak lebih dari 90 menit (tanpa gangguan). Mereka mulai di pagi hari, mengambil istirahat di antara sesi, dan jarang bekerja selama lebih dari empat setengah jam dalam setiap hari tertentu.
"Untuk memaksimalkan keuntungan dari praktek jangka panjang," kata Dr Ericsson, "individu harus menghindari kelelahan dan harus membatasi kerja ke jumlah di mana mereka benar-benar bisa pulih secara harian atau mingguan."
(Kompas.com/New York Times/Hesti Pratiwi/Dini)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar