Senin, 24 Juni 2013

Tips Agar Anak Terbiasa Disiplin

Orangtua masa kini lebih memilih pola asuh moderat dalam membesarkan anak-anaknya.

Meski kini pola asuh bergaya "tangan besi" sudah mulai ditinggalkan, namun orangtua tetap perlu mengajarkan disiplin pada anak sedini mungkin. Kedisiplinan akan membantu anak memahami konsep "salah" dan "benar".

Menerapkan kedisiplinan pada anak membutuhkan keterampilan dan kesabaran dari orangtua. Sikap disiplin merupakan sikap yang perlu dibentuk dengan tahapan yang cukup panjang.

Menurut pskilog anak dan keluarga Anna Surti Ariani, penerapan pola asuh moderat merupakan cara yang terbaik untuk membentuk kedisiplinan pada anak. Dalam pola asuh ini, orangtua dan anak membuat aturan sesuai kesepakatan bersama untuk dijalankan secara bersama-sama pula.

"Jika diibaratkan, pola asuh moderat bagaikan pagar besi yang diberikan busa-busa tebal. Maka bila anak mencoba keluar dari pagar (aturan yang sudah dibuat bersama), dia tetap dibatasi oleh pagar besi (sikap tegas) namun anak juga terlindungi dengan busa (dekat dan penuh kasih sayang)," papar Nina, panggilan psikolog dari Klinik Terpadu Universitas Indonesia ini.

Dalam pola asuh moderat, orangtua berpegangan pada prinsip piramida disiplin yang secara berurutan terdiri dari perhatian positif, pengabaian, kerja sama, ketegasan, dan hukuman. Berikut penjelasannya.

1. Perhatian positif
Perhatian positif dapat berupa pujian terhadap perilaku anak yang baik. Menurut Nina, pujian merupakan proses paling penting dalam usaha menerapkan kedisiplinan.  "Prinsipnya perbuatan yang baik yang dihargai dengan dipuji akan ingin dilakukan terus," ujarnya.

Pujilah anak dengan tulus saat ia melakukan hal-hal yang baik. Lakukan pujian dengan kontak mata, ekspresi wajah yang menyenangkan, dan intonasi ramah.  Satu hal yang perlu diingat, pujilah perilakunya, bukan anaknya.

2. Pengabaian
Secara alamiah terkadang anak berusaha mencari perhatian orangtua dengan bertindak manja, teriak, rewel, bahkan cenderung "nakal". Namun selama masih bisa ditoleransi, memberi pengabaian bisa dijadikan pilihan.

"Misalnya saat anak menangis sambil guling-guling di lantai, abaikan saja. Nanti dia akan merasa tidak diperhatikan dan menghentikan aksi tersebut," jelas Nina.

Namun pengabaian perilaku anak bukan berarti mengabaikan anaknya. Jadi, ketika anak sudah berhenti melakukan perilaku yang tidak menyenangkan tersebut, segeralah puji dia. Dengan begitu, anak akan bisa membedakan mana perilaku yang seharusnya dia lakukan dan mana yang tidak.

3. Kerjasama
Semakin bertambah usia anak, semakin beragam ulahnya, termasuk ulah yang membuat orangtuanya kesal. Sementara itu kemampuannya untuk memahami peraturan makin baik. Karenanya orangtua dapat membuat aturan bersama yang sudah disepakati anak.

Contohnya, kesepakatan waktu mandi yang ditentukan oleh kedua pihak adalah jam 5 sore dan tentukan bersama konsekuensi jika anak melanggarnya. Maka mau tidak mau anak harus mematuhi aturan tersebut. Namun orangtua juga harus aktif mengingatkan agar anak merasa aturan tersebut selalu berlaku.

4. Ketegasan
Ini adalah tahap selanjutnya untuk memantau aturan yang sudah dibuat sebelumnya. Jika berharap anak tumbuh disiplin, orangtua perlu bersikap tegas terhadap aturan. Jika tidak, aturan yang sudah dibuat akan sia-sia.

5. Hukuman
Tahap ini merupakan puncak dari piramida, artinya paling jarang dilakukan. Nina mengatakan, tahap ini baru dilakukan saat empat tahapan sebelumnya sudah dilakukan.

"Orangtua menghukum anaknya bukan karena marah atau bukannya karena tidak kuat dengan sikap anak yang mengesalkan, tapi karena peduli. Justru kalau anak nakal dibiarkan saja, itu adalah sikap semena-semena," tutur Nina.

Kendati demikian, menghukum anak juga ada aturannya. Prinsipnya jangan sampai melakukan kekerasan fisik. Pencabutan hak untuk melakukan kegiatan favorit merupakan jenis hukuman yang disarankan.

Sumber: kompas.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar